Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Bagian 4



"HUUAA.....JAM SETENGAH SEMBILAAN!!" setengah berteriak gue bangun dan menatap jam dinding.

"berisik. gue juga tau," kata Indra dengan santai sambil kucek-kucek mata.

"lo kok nggak bangunin gue dul?"

"nih, lo liat gue juga masih ileran noh.." dia menunjuk mulutnya. "gue juga baru bangun."

gue pandangi lagi jam dinding. berharap dengan begitu jarum-jarumnya akan berputar mundur. tapi gue tau itu nggak mungkin. hari ini pertama kalinya gue bangun kesiangan di hari kerja.

"santai aja lah nggak usah dibikin panik," kata Indra lagi. dia rebahkan diri di kasur.

"busett..kesiangan gini malah nyantai?!"

"terus mau ngapain? maksain berangkat? kebayang nggak gimana bos lo bakal ngomelin plus maki-maki lo gara-gara dateng terlambat dua jam?"

gue diam. sepertinya gue mendapat pembenaran dari statement Indra.

"so?" tanya gue pelan.

"tidur lagi."


gue diam lagi. masih memikirkan mana yg lebih baik..memaksakan berangkat dan mendapat 'kopi anget' dari bos yg galak atau melanjutkan tidur seperti kata Indra. menganggap hari ini adalah hari kemerdekaan sehingga sekolah diliburkan.

"ngapain puyeng-puyeng? tinggal bilang aja kalo kita sakit. beres kan?"

"sakit kan mesti ada surat keterangan dari dokternya?"

"halaaah...gampang itu mah. bayar sepuluh rebu juga dapet kertas gituan mah."

gue masih berpikir.

"kelamaan mikir lo," kata Indra. "udah lo tau beres aja. entar sore gue bikinin surat sakit buat elo."

"serius lo dul?"

"dua rius, empat, lima, serebu rius gue jamin deh!" dia tertawa lebar.

"asli nggak nih? gue kan nggak pernah bolos gawe. gue nggak pengalaman kayak gituan."

Indra mengacungkan jempol tangannya.

"tenang aja," katanya.

dan terbujuk kata-kata Indra akhirnya gue rebahan lagi di kasur. terlanjur kesiangan Ri, ngapain berangkat? kira-kira kalimat itu yg menghibur gue dari kegalauan. maklum aja, selama enam bulan ini absen gue di kantor sangat baik. baru kali ini gue nggak masuk.

"eh, gimana sama si cewek itu?" mendadak gue ingat Mevally.

"mana gue tau? kan tadi gue udah bilang gue baru bangun. lo coba cek deh ke kamer gue, jangan-jangan dia kabur."

"kenapa sih kalo bagian yg kayak gitu pasti gue yg kena?"

"yaelaah.....timbang ngecek doang jual mahal amat lo? kagak ada pahalanya pisan."

"lo deh yg liat."

"ya udah anggep aja tuh cewek masih ada di kamer gue. beres kan?"

"ah, elo mah suka ngegampangin masalah."

"lha, daripada gue bikin susah? pilih yg mana hayoo??"

gue mendengus kasar.

"iya..iya...gue yg ngecek."

gue lalu beranjak keluar menuju kamar sebelah. pintunya masih tertutup. dengan pelan gue buka pintu dan mendapati wanita itu sedang duduk bersandar ke dinding kamar. sebagian rambutnya menutupi wajahnya dengan mata terpejam.

"hey, met pagii..." gue coba menyapanya.

hening. nggak ada jawaban. padahal gue yakin dia mendengar suara gue.

"met pagii Va.." gue ulangi salam gue.

matanya terbuka. dan dia menatap gue. cuma ada kengerian sendiri melihat tatapannya. gue tunggu dia menjawab salam gue.

"kok nggak jawab salam gue?" gue masih pura-pura menganggap dia nggak mendengar suara gue tadi. "met pagi..."

senyum di wajah gue hilang mendapati kamar tetap hening. wanita itu belum mau mengucapkan sepatah kata pun. hanya sebuah tatapan tajam yg nyaris menusuk menembus kepala gue.

"bangun jam berapa tadi?" gue masih sok ramah. malah sekarang gue duduk di tepi kasur.

sh*t !
wanita ini masih membisu !

"sabar Ri...sabar......" gue dalam hati.

gue alihkan pandangan dari matanya. aneh memang ditatap dengan cara seperti itu. sambil berjaga-jaga siapa tau wanita ini melakukan hal ekstrim, gue mengajaknya bicara lagi.

"lo laper nggak? dari kemaren belum makan kan?" gue ingat nasi goreng semalam yg membusuk di pojok kamar gue.

guys, dia masih clep diem! cewek macem apa sih sebenernya dia???

"gue beliin sarapan ya? nasi atau bubur?"

aaaaarrrgggghh..!!! sumpah pengen banget gue getok kepala tuh cewek! dia bener-bener nggak nanggepin gue yg udah cape ngomong?!

"ya udah gue beliin bubur aja ya," entah kenapa mulut dan hati gue nggak kompak banget.

gue bergegas ke kamar gue, cuci muka lalu turun keluar ke warung nasi langganan gue. biasanya di sana juga sekalian jual bubur. tapi katanya buburnya udah habis jadi ya terpaksa gue jalan ke depan gang ke tempat mangkal tukang bubur sop.

dari sana gue balik ke kamar membawa dua bungkus nasi uduk buat gue dan Indra, serta sekantong kecil bubur sop buat cewek aneh plus nyebelin itu.

"nih, silakan dimakan." gue menyodorkan mangkuk berisi bubur dan segelas air dari dispenser. "kalo udah makan, lo minum obatnya. nih obatnya."

gue sodorkan bungkusan obat ke dekat mangkok.

"nggak perlu gue suapin kan?" canda gue.

sepi.

"ah, cape juga ngomong nggak diladenin! serah lo deh!" gue kesal.

gue masuk ke kamar gue dan langsung melahap nasi uduk tanpa sela, menghiraukan ekspresi keheranan Indra. mending Ndra, lo cuma heran. gue nih cape plus kesel daritadi ngomong nggak diladenin!!

"dasar cewek aneh!" omel gue dalam hati.

gue hirup rokok di tangan gue dalam-dalam.

"tumben-tumbenan lo ngudud Ri," Indra berkomentar setengah mengejek. siang itu gue dan Indra duduk-duduk di tembok balkon menikmati 'bolos bersama' hari itu.

"lo pikir gue banci?" balas gue.

"eits..jangan salah lo, banci juga ngudud."

"ngudud beneran atau apa nih? yg jelas dong kalo ngomong."

Indra tertawa lebar.

"itu mah hobi lo Ri."

"najis, ogah gue biar dibayar mahal juga."

"jadi lo mau kalo nggak dibayar?"

giliran gue yg tertawa.

"nggak usah bahas masa lalu lo deh," kata gue.

saat itulah pintu kamar Indra terbuka dan Meva keluar berjalan agak tertatih. perban di kedua kakinya pasti sudah membuatnya tidak nyaman.

"mau ke mana lo?" Indra bertanya padanya.

"percuma nggak akan dijawab," kata gue mengingatkan.

"mau ke kamer gue."

gue menoleh kaget. bercampur kesal gue rasa. nggak salah nih cewek ngomong? apa gue yg tadi salah denger yaa? ah, kali aja tadi gue berhalusinasi seolah denger dia ngomong.

"lo kebanyakan dosa sih.." Indra berbisik lalu tekekeh geli.

gue hanya mencibir pelan.

"butuh bantuan?" kata Indra lagi pada Meva.

"nggak perlu, gue bisa sendiri," jawab Meva tanpa menoleh ke arah kami.

beneran loh, cewek itu ngomong!

gue dan Indra saling pandang.

"padahal kalo sama gue dia nggak mau ngomong loh," gue menggerutu kesal.

mata gue menatap lekat sosok wanita itu. dia akhirnya sampai di depan kamar dan masuk ke dalamnya.

"mumpung dia udah pergi, gue ganti seprai kasur dulu deh." Indra bergegas menuju kamarnya dan sepuluh menit kemudian dia sudah kembali lagi dengan gitar cokelat kesayangannya.

"kayaknya bulan ini gue tekor nih," katanya. "mesti beli baju sama seprai baru. gara-gara cewek itu." dia memonyongkan mulutnya ke arah pintu kamar Meva.

"tuh cewek pembawa sial kali yaa?"

"ssstt...jangan kenceng-kenceng entar dia denger marah lho."

"iya gue pelanin deh suara gue," sengaja gue keraskan volume suara gue.

Indra seperti membisikkan kalimat 'bego lu!' tapi entahlah gue sendiri nggak yakin karena biasanya dia bilang 'goblok lu!'.

"kalo gue sendiri nggak mau men judge terlalu dini soal cewek itu," kata Indra. "yg gue pikirkan sekarang adalah apa yg harus kita lakukan sama dia. biar kita nggak kena dampak dari kebiasaan anehnya. gue yakin dia masih punya kemungkinan buat nyerang orang-orang di sekitarnya."

"tapi kan dia cuma melukai diri sendiri? dokter sendiri yg bilang gitu kan?"

"ya sapa tau aja gitu. waspada bos, waspada."

"kalo gue sih nggak takut dia akan nyerang kita. yg gue takutkan gue nggak bisa nahan emosi gara-gara dicuekin sama dia!"

"hahaha....itu mah tergantung elo nya aja, kebanyakan dosa sih."

"gue masih punya stok pahala banyak, jadi tenang aja."

"kalo dosanya lebih banyak ya percuma aja lah," Indra nyengir lebar. "eh, tapi dia nggak sepenuhnya cuek kok. tadi gue ke kamer kan..bubur sama obatnya udah dia makan tuh."

"baguslah. ternyata dia bisa laper juga toh."

rokok di tangan gue habis. gue lempar asal-asalan ke bawah.

"lo kasian nggak sih sama si Meva?" tanya gue.

"jelas gue prihatin lah. nggak kebayang deh kalo gue yg punya keanehan macem itu. iiiihh....sumpah ngeri gue."

"menurut lo kita mesti ngapain?"

"ngapain apanya? ya udahlah biarin aja toh dia bukan siapa-siapa kita kan? kenal juga enggak. tapi yg namanya waspada ya tetep kudu dijaga. biar gimanapun kita yg paling deket sama kamer dia. kamer sebelahnya kan udah pindahan."

"pindah? Mang Eko sama istrinya emang pindah kemana? kok gue nggak pernah liat mereka angkut-angkut barang?"

"ya iyalah nggak akan tau, elo sih ngayap mulu. mereka udah lama pindah kok, dapet dua bulan lah. katanya sih pindah ke Gempol gitu biar lebih deket ke tempat kerja."

gue mengangguk pelan.

"by the way enaknya ngapain nih?" tanya Indra.

"lo udah nenteng gitar kan? ya udah tinggal nyanyi aja."

"lagu apa? request deh, terus salamnya buat sapa aja?"

"haha..lo kata request lagu di radio?" gue menyulut sebatang rokok lagi. lumayan lah gratisan, rokok ini punyanya Indra. tiba-tiba gue teringat sesuatu. "eh, lagunya Jamrud aja yg lagi tenar sekarang. lo apal kan?"

"yg mana?"

"yg ceritanya jam dinding bisa ketawa tuh."

"oh itu. gue tau kok, tapi lo yg nyanyi yaa."

gue mengangguk.

Indra mulai asyik dengan gitarnya. gue pun bernyanyi. sambil nyanyi sekali-kali gue lirik kamar Meva, berharap pintunya terbuka dan dia menghampiri tempat ini. kayaknya lagu ini memang lebih cocok dinyanyikan duet bareng cewek. seperti waktu malam itu..

hey..heyy...kan dia nyebelin? bikin kesel? kok bisa-bisanya gue ngarepin dia nongol terus nyanyi bareng di sini?

ah, bodo amat. gue lanjutkan nyanyi-nyanyi sampai Indra nyerah dan memberikan gitar ke gue.

"ngantuk ah," katanya lalu menuju kamar gue.

gue diam. nggak seru nih nyanyi sendirian. gue beranjak ke kamar Meva. berdiri di depan pintu dan mengetuknya. nggak ada jawaban.

gue ketuk lagi. dan kali ini jelas terdengar suara di telinga gue. suara tangisan seorang wanita....

pintunya nggak dikunci. dengan mudah gue membukanya dan mendapati cewek itu sedang duduk memeluk lutut di sudut kamar yg gelap dan pengap. gue meraba-raba dinding mencari saklar lampu.

"jangan nyalain lampu," kata Meva tanpa menoleh ke gue. isaknya terdengar lirih di ruang kosong ini.

"kenapa?" sahut gue. telunjuk gue tertahan di saklar.

Meva menggeleng. wajahnya masih terbenam di lututnya.

"ada yg mau lo ceritain? seenggaknya sedikit bercerita dengan orang lain adalah lebih baik daripada dipendam sendirian," kata gue sok bijak.

"bukan urusan lo."

"heh, lo pikir kalo ada seseorang yg dengan bodohnya nyoba bunuh diri di depan mata lo, itu bukan urusan lo?? huh..mungkin lebih baik kemaren gue biarin lo mati tolol di WC." kata gue dengan sengitnya.

gue sengaja ngomong begitu untuk memancing emosinya. kalau manusia normal, gue yakin dia akan mencak-mencak ke gue. tapi yaah mungkin dia memang nggak normal kali yaa? nggak ada reaksi apapun dari dia. hanya duduk dan terdiam.

"come on guys..mau sampe kapan sih lo bisu gitu? cerita aja apa masalah lo, siapa tau gue bisa bantu."

dan seperti yg sudah terjadi sebelumnya, cewek aneh ini tetap diam dalam bisu nya. rasanya gue mulai nyerah ngajak dia bicara. gue putuskan keluar, menutup pintu lalu duduk di bawah jendela kamar. masih dengan gitar di tangan, gue mulai bernyanyi.

kalo lo pikir ini seperti cerita-cerita di film india, lo salah. karena entah dapet ide darimana, gue bernyanyi dengan suara tinggi melengking dan dengan nada yg sangat mengkhawatirkan. dan hasilnya? nggak butuh satu menit buat Indra membuka pintu kamar dan melempar sandal tepat ke jidat gue tanpa sempat gue menghindar.

"kerasukan jin ifrit lo ye??" serunya.

gue hanya geleng kepala sambil nyengir lebar.

"semprul lo.!" katanya lalu menutup pintu.

dan gue melanjutkan 'ritual' gue. aneh memang saat kita bernyanyi tapi kita sendiri nggak kenal lagu apa yg sedang dinyanyikan. kunci gitar asal-asalan ditambah suara sumbang, lengkap sudah 'penderitaan' mereka yg mendengarnya.

"mau sampe kapan nyanyi kayak gitu??" sebuah suara terdengar di atas kepala gue.

gue menoleh ke asal suara. Meva nampak muncul dari jendela yg kacanya belum sempat gue pasang lagi.

"bukan urusan lo," jawab gue sekenanya.

"lo udah ganggu ketenangan orang lain. lo bilang bukan urusan gue??"

gue berdiri. menaruh gitar di lantai lalu bicara.

"dengan nyanyi seenggaknya gue bisa mencurahkan perasaan gue. itu lebih baik daripada mojok di kamer yg gelap."

"nyindir nih?"

"sorry deh kalo lo ngerasa kesindir."

"kenapa sih lo demen banget bikin orang kesel?"

"enggak papa, gue seneng aja. dengan begitu kan lo jadi mau ngomong sama gue?" gue mengakhirinya dengan sebuah senyum lebar.

Meva diam. gue lihat matanya sembap karena menangis cukup lama.

"ayo keluar. kita ngobrol di luar. di dalem sumpek," gue menarik tangannya.

"eh..eh...gue masih di dalem nih!" protesnya. "sembarangan aja narik-narik orang."

"oh, maaf gue lupa," padahal gue tadi sengaja.

Meva keluar dari kamarnya dan duduk di tembok balkon. entah kenapa kali ini gue merasakannya lagi. perasaan yg enam bulan lalu pernah gue rasakan saat pertama kali gue melihatnya. saat gue mainkan gitar dan dia bernyanyi di tengah malam.

"Ari," gue sodorkan tangan.

"lo udah tau nama gue," katanya tanpa menghiraukan ajakan gue untuk bersalaman.

"ah iya...gue..baru inget," sumpah gue salah tingkah plus kesel. malu juga sebenernya. tapi gue tetep coba jaga image.

"jadi udah berapa lama?" tanya gue.

"apanya yg berapa lama?"

"yaah..udah berapa lama nama lo Mevally?" kedengarannya konyol banget yak !

"pertanyaan yg nggak perlu dijawab," kata Meva.

"mau minum?"

"thanks. nggak usah basa-basi deh."

"so, apa yg bikin lo sering nangis?"

"harus ya..nanya langsung ke intinya? nggak ada basa-basinya banget."

hhhhhh.....beneran kesel gue sama cewek yg satu ini!!

"gue akui, gue bukan orang yg pinter berbasa-basi. tapi gue jago lho ngasih julukan ke orang."

"maksudnya?" Meva kernyitkan dahi.

"sejak pertama ketemu elo, gue udah punya julukan buat lo. lo mau tau? karena belum tau nama lo, gue kasih lo julukan 'wanita berkaos kaki hitam'." hahaha..(tertawa dengan hambar)

"gue sekarang pake perban putih tuh."

gue perhatikan kedua kakinya yg dibalut perban.

"kalo gitu julukannya wanita ber perban putih.?"

dia tersenyum kecil. wouw ini pertama kalinya gue bikin dia tersenyum. keinginan yg sempat hinggap beberapa waktu yg lalu akhirnya kesampean.

"sakit nggah sih kaki lo?" kata gue.

"lo mau nyoba menyayat kaki lo pake pisau cutter? nanti lo tau sendiri gimana rasanya."

gue menggeleng merinding.

"ngebayanginnya aja ngeri gue," komentar gue.

"lo nggak akan pernah tau sesakit apa rasanya sakit itu sebelum lo ngerasainnya sendiri."

"oiya? tapi kita nggak akan begitu sakit kan seandainya kita mau berbagi dengan orang di dekat kita?"

Meva terdiam. sejenak dia ayunkan kedua kakinya. turun dari tembok lalu kembali ke kamarnya meninggalkan gue sendirian.

sore harinya gue terbangun dengan wajah tertutup sebuah amplop putih kecil berkop tinta biru. nampaknya amplop resmi dari lembaga tertentu, dan karena nyawa gue belum sepenuhnya kumpul, gue taruh amplop putih itu di atas galon. sambil menggeliat melemaskan otot gue mulai berfikir soal menu makan yg enak sore ini.

baru saja gue melangkah keluar kamar saat terdengar suara indra memanggil dari tembok balkon.

"tuh surat sakitnya tadi gue taro di muka lo," katanya.

"oh, sembarangan aja lo naro barang gituan di muka gue. mending tuh amplop nggak basah kena iler," gue melangkah dan duduk di kursi. "laper nih. udah beli makan belom?"

"udah barusan."

"yaah nggak bisa nitip dong gue?"

"skali-kali beli sendiri lah."

"busett...jahat amat lo. kan selama ini yg sering nitip tuh elo, gue yg jadi babu."

"pahala...ri...pahala. lo mau masuk surga kan?"

"nggak gitu juga kali."

indra tertawa.

"eh, si cewek aneh kemana?" tanyanya. "dari tadi gue nggak liat dia."

"mana gue tau? kan lo liat sendiri gue baru bangun?"

"tau tuh, sejak gue bangun satu jam yg lalu gue nggak liat dia di kamer gue."

"berarti lagi di kamernya."

"ngapain?"

"pertanyaan bodoh yg nggak perlu gue jawab."

"kenapa?"

"pertanyaan tolol yg nggak perlu gue jawab."

indra diam.

"padahal kalo kakinya nggak cabik-cabik kayak gitu, dia seksi lho," katanya lagi.

"lo suka sama tuh cewek?" tanya gue menyelidik.

"kagum man.. tolong lebih dibedakan antara kagum dan suka."

"dia cantik kok. ramah pula, sebenernya..kalo kita udah kenal deket."

"lo demen sama tuh cewek?"

"sekali lagi lo ngajuin pertanyaan bodoh, gue jorokin lo ke bawah."

"yaelah...gitu aja pundung. kalo emang nggak ya udah nyantai aja lagi."

"udah ah gue cari makan dulu," kata gue melangkah turun.

"gue titip sop buah ya?" teriak indra saat kaki gue memijak anak tangga ke tiga. gue jawab dengan acungan jempol.

ah, sore begini asyiknya makan yg pedes-pedes. mie ayam langganan di depan gang selalu jadi pilihan tepat buat menu kuliner sore. kali ini gue sengaja pesen yg pedes banget. setelah mendapat pesanan indra gue mampir ke salahsatu warteg. gue beli nasi telor karena gue pikir meva pasti belum makan. jadilah gue kembali ke kamar dengan tiga bungkusan berbeda.

"ciyee...perhatian amat lo," komentar indra melihat nasi bungkus punya meva.

gue melangkah menuju kamar meva. tiga kali gue ketuk pintunya nggak ada jawaban, jadi gue putuskan langsung masuk dan mendapati meva sedang terlelap di lantai dengan berbantal lengannya.

"hei..hei...bangun," gue goyang-goyang bahunya. "makan dulu baru lanjutin tidurnya."

kedua matanya terbuka. dia terperanjat kaget melihat gue di sebelahnya.

"ngapain lo?" tanyanya penuh selidik.

"gue belum ngapa-ngapain kok, lo udah keburu bangun dulu. tidur lagi deh biar bisa gue apa-apain," canda gue.

'PLAKK!'

sebuah tamparan mendarat telak di pipi gue.

"busettt ! galak bener non. gue kan becanda doang."

meva memasang wajah nggak senangnya.

"becanda lo jelek," sungutnya.

"ya udah nih," seraya gue serahkan bungkusan nasi telor di tangan gue. "gue cuma mau ngasih ini aja. nih air minumnya, dan ini obat yg harus lo minum. jangan lupa diminum obatnya."

"lo mau ke mana?" tanya meva begitu gue beranjak pergi.

"balik ke kamer, daripada kena tampar lagi."

"maaf...."

gue hentikan langkah.

"lo bilang apa barusan?" kata gue.

"maaf...soal yg tadi. gue memang suka bereaksi berlebihan."

"kalo kata maaf berguna, buat apa ada polisi?"

"emang apa gunanya polisi? maling aja banyak yg berkeliaran."

gue pandangi matanya yg sayu. takjub bercampur heran, ternyata cewek ini 'bisa' ngomong juga.

"kalo butuh apa-apa ke kamer gue aja," lanjut gue lalu mundur dan menutup pintu kamarnya.

baru sedetik tertutup tiba-tiba pintu terbuka lagi.

"ari," panggil meva.

"kenapa?" tanya gue.

"thank's buat nasinya."

gue mengangguk.

"thank's juga buat tamparannya," gue dalam hati...

hari yg dingin kali ini diakhiri dengan hujan yg turun deras sejak petang. indra sudah meringkuk di balik selimutnya yg hangat beberapa saat setelah hujan turun. gue sendiri belum ngantuk, jadi gue putuskan malam itu duduk nonton televisi sambil otak gue menerka-nerka kira-kira apa yg akan ditanyakan bos gue di kantor besok terkait absennya gue hari ini. dan baru saja gue berhasil memunculkan bayangan bos gue sedang memandang galak ke arah gue dari balik mejanya ketika pintu kamar indra terbuka.

"hei meva," gue buru-buru menoleh ke arah pintu.

"eh, ng......kirain kalian tidur di sebelah lagi kayak semalem," katanya.

"emang kenapa?"

"yaah gue pikir gue bisa tidur di kasur lagi. hehehe.."

"si indra udah tidur dari tadi. kalo mau lo bisa tidur di kamer gue aja, di sana juga ada kasur."

"lho, bukannya kamer lo yg ini ya?"

gue menggeleng.

"ini kamer indra. kamer gue yg sebelah." gue berjalan ke pintu dan melewati meva. tiba di depan pintu kamar gue berhenti. "tidur di kamer gue aja, biar nanti gue tidur di sini."

"eh, nggak usah lah. udah biar aja, gue tidur di kamer sendiri nggak papa."

"maksud lo, malem ini lo tidur kayak tadi sore tanpa kasur dan bantal?"

meva mengangguk. sedikit ragu.

"udah biasa kok," katanya pelan.

"jangan dibiasain."

"mau gimana lagi? keadaannya emang kayak gitu kok."

"itulah salahnya. jangan biarkan keadaan mengalahkan kita. kita yg harus mengalahkan dia," gue membuka pintu kamer gue. "gue janji nggak akan masuk kamer ini selama lo ada di dalem. tenang aja."

"udah lah biasa aja sih. nggak perlu repot-repot, biar gue tidur di kamer sendiri. gue nggak enak ngerepotin lo mulu."

"sedikit ngerepotin tapi kalo ikhlas nggak masalah kok."

"gue tidur di kamer sendiri." agaknya dia memaksa.

"oke," gue masuk kamer lalu melipat kasur menjadi satu tumpukan besar.

"mau diapain tuh kasur?" meva melongok dari pintu.

"gue pindahin ke kamer lo."

"eeh...nggak perlu, nggak perlu. oke gue tidur di sini." meva masuk dan mendorong gue menurunkan kasur yg sempat gue angkat.

"oke silakan menikmati mimpi yg indah nona.." gue melangkah mundur. "anggep aja kamer sendiri."

"nah, lo sendiri mau ke mana?"

"bawel. ya ke kamer indra lah, masa mau bareng tidur di sini?"

"enggak, maksudnya kok buru-buru amat? masih jam tujuh nih, gue juga belum ngantuk."

"mau kopi?"

meva menggeleng.

"teh anget?" tanya gue lagi.

"boleh," jawabnya. "ujang gini asyik tuh minum teh anget."

"kalo gitu silakan bikin sendiri. teh sama gulanya ada di kaleng di samping dispenser," gue menunjuk ke sudut kamar. "jangan lupa nyalain dulu pemanas dispensernya."

"gue bikin sendiri gitu?" protes meva.

"yaelaah...timbang teh gituan aja masa kudu dibikinin sih? lo kan cewek?"

"apa hubungannya cewek sama bikin teh?"

"ya biasanya yg cekatan bikin kayak gituan kan cewek?"

"nggak mau. lo aja deh yg bikin teh nya."

gue kernyitkan dahi.

"kok malah gue?" gue juga protes. "kan elo yg mau minum teh?"

"ya udah deh nggak jadi. gue udah nggak tertarik," dia memasang wajah cemberut.

gue mendengus pelan. ni cewek masih aja nyebelin. gue jadi penasaran apa dia emang ngeselin sejak lahir?

gue masuk dan melangkah mendekati dispenser, menyalakan pemanas, lalu mulai menuang gula dan memasukkan teh celup ke dalam gelas kosong tanpa air.

"lo sendiri nggak bikin?" tanya meva ketika gue menyodorkan segelas teh manis hangat yg baru saja gue buat.

"gue lagi nggak pengen," jawab gue pendek.

meva berhati-hati sekali meminum teh yg masih mengepulkan asap ke wajahnya.

"lo mau langsung tidur?" tanya meva.

gue menggeleng.

"kalo gitu kita ngobrol aja sambil duduk di luar," ucap meva. dia keluar dan duduk di tembok balkon. gelas teh hangat ditarohnya di sebelahnya.

gue sih ngikut aja. meva duduk di tembok balkon, sedikit demi sedikit meminum teh manisnya sementara gue berdiri bersandar pada tembok. kami menikmati dinginnya angin yg berembus dingin.

"thanks ya tehnya manis, gue suka," katanya.

gue mengangguk pelan. gue amati baik-baik wajahnya. masih ada kemuraman di raut mukanya.

"kalo boleh tau, lo gawe dimana?" gue beranikan diri bertanya.

"gue kuliah kok di UN**KA, semester empat."

"ooh.. lo asli sini?"

"bukan, gue lahir dan besar di Padang."

"wah, kok bisa nyasar ke Karawang?"

"namanya juga orang nyasar, bisa kemana aja kan?" dia tersenyum simpul. "lo sendiri orang mana?"

"gue dari sebuah kota kecil di Kalimantan."

"rasanya gue nggak perlu tanya kenapa lo bisa ada di sini kan?" dan kami tertawa kecil.

malam itu kami berdua mengobrol tentang asal-usul kami, cerita masa kecil dan masa-masa sekolah dulu, serta beberapa motivasi yg gue kejar di perantauan ini sambil diselingi candaan segar dari meva. seperti sudah gue duga, meva memang orang yg menyenangkan. dia pintar mencari bahan pembicaraan. memang baru sebatas perkenalan nggak formal tapi well, malam ini cukup menyenangkan mengobrol ditemani rintikan hujan. lama kami ngobrol sampai lupa waktu. kami baru tidur saat malam mulai beranjak pagi...


Next Novel Sepasang Kaos Kaki Bagian 5
Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Adalah Novel Karya Ariadi Ginting a.k.a Pujangga.Lama. 
Share This :

Artikel terkait : Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Bagian 4

Posting Lebih Baru Posting Lama

0 komentar: