Novel Laskar Pelangi Bagian 20 (Miang Sui)

Novel Laskar Pelangi Bagian 20 (Miang Sui)
AWAN-AWAN kapas berwarna biru lembut turun. Mengapung rendah ingin menyentuh permukaan laut yang surut jauh, beratus-ratus hektare luasnya, hanya setinggi lutut, meninggalkan pohon-pohon kelapa yang membujur di sepanjang Pantai Tanjong Kelayang. Aku tahu bahwa awan-awan kapas biru muda itu dapat menjadi penghibur bagi mataku, tapi dia tak kan pernah menjadi sahabat bagi jiwaku, karena sejak minggu lalu aku telah menjadi sekuntum daffodil yang gelisah, sejak kukenal sebuah kosakata baru dalam hidupku: rindu.

Kini setiap hari aku dilanda rindu pada nona kuku cantik itu. Aku rindu pada wajahnya, rindu pada paras kuku-kukunya, dan rindu pada senyumnya ketika memandangku. Aku juga rindu pada sandal kayunya, rindu pada rambut-rambut liar di dahinya, rindu pada caranya mengucapkan huruf “r”, serta rindu pada caranya merapikan lipatan-lipatan lengan bajunya.
Kadang-kadang aku bersembunyi di bawah pohon filicium, melamun sendiri, dadku sesak sepanjang waktu. Aku segera mengerti bahwa aku adalah tipe laki-laki yang tak kuat menahankan rindu. Lalu aku berpikir keras mencari jalan untuk meringankan beban itu. Setelah melalui pengkajian berbagai taktik, akhirnya aku sampai pada kesimpulan bahwa rinduku hanya bisa diobati dengan cara sering-sering membeli kapur dan untuk itu Bu Mus adalah satu-satunya peluangku.
Maka aku mengerahkan segala daya upaya, memohon sepenuh hati, agar tugas membeli kapur tulis diserahkan padaku, kalau perlu kapur tulis untuk seluruh kelas SD dan SMP Muhammadiyah, sepanjang tahun ini.
“Bukankah kau paling benci tugas itu Ikal?”

Aku tersipu. Ironis, aku telah menemukan definisi ironi yang sebenarnya. Penyebabnya tentu bukan karena Toko Sinar Harapan telah menjadi wangi, tapi semata-mata karena ada putri Gurun Gobi menungguku di sana. Maka ironi bukanlah persoalan substansi, ia tak lain hanyalah soal kompensasi. Itulah definisi ironi, tak kurang tak lebih.
Bu Mus tak berminat mendebatku dan kulihat perubahan wajahnya. Pastilah instingnya selama bertahun-tahun menjadi guru secara naluriah telah membunyikan lonceng di kepalanya bahwa hal ini sedikit banyak berhubungan dengan urusan cinta monyet. Dengan jiwa penuh pengertian dan sebuah senyum jengkel beliau mengiyakan sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Asal jangan kau hilangkan lagi kapur-kapur itu, perlu kau tahu, kapur itu dibeli dari uang sumbangan umat!”
Kemudian aku dan Syahdan menjadi tim yang solid dalam pengadaan kapur. Aku menjadi semacam manajer pembelian, Syahdan tak perlu mengayuh sepeda, cukup duduk di belakang, memegang kotak-kotak kapur kuat-kuat dan menjaga mulutnya rapat-rapat, karena hubungan antar-ras adalah isu yang sensitif ketika itu. Kami menikmati ketegangan perjanjian rahasia ini dan selama beberapa bulan setelah itu aku telah menjadi tukang kapur yang berdedikasi tinggi. Sebaliknya Syahdan, tentu saja melalui rekomendasiku pada Bu Mus, selalu ikut denganku. Ia gembira karena semakin lama meninggalkan kelas sekligus leluasa mendekati putri tukang hok lo pan.

Sesampainya di toko biasanya aku langsung cepat-cepat masuk dan berdiri tegak dengan saksama di tengah-tengah lautan barang kelontong. Minyak kayu putih kukipas-kipaskan di bawah hidung untuk melawan bau tengik. Aku menyeka keringat dan tak sabar menunggu menit-menit ajaib, yaitu ketika A Miauw memberi perintah kepada burung murai batu di balik tirai yang terbuat dari keong-keong kecil itu.

Aku megnhampiri kotak merpati saat ia menjulurkan kapur. Setiap kali ini terjadi jantungku berdebar. Ia masih tetap tak berkata apa pun, diam seribu bahasa, demikian juga aku. Tapi aku tahu ia sekarang tak lagi cepat-cepat menarik tangannya. Ia memberiku kesempatan lebih lama memandangi kuku-kukunya. Hal itu cukup membuatku demikian bahagia sampai seminggu berikutnya.

Demikianlah berlangsung selama beberapa bulan. Setiap Senin pagi aku dapat menjumpai belahan jiwaku, walaupun hanya kuku-kukunya saja. Hanya sampai di situ saja kemajuan hubungan kami, tak ada sapa, tak ada kata, hanya hati yang bicara melalui kuku-kuku yang cantik. Tak ada perkenalan, tak ada tatap muka, tak ada rayuan, dan tak ada pertemuan. Cinta kami adalah cinta yang bisu, cinta yang sederhana, dan cinta yang sangat malu, tapi indah, indah sekali tak terperikan.
Kadang-kadang ia menjentikkan jarinya atau menggodaku sambil terus memegang kotak kapur ketika akan kuambil sehingga kami saling tarik. Kadang kala ia mengepalkan tinjunya, mungkin maksudnya: kenapa kamu terlambat? Sering telah kusiapkan diri berminggu-minggu untuk sedikit saja memegang tangannya atau untuk mengatakan betapa aku rindu padanya. Tapi setiap kali aku melihat kuku-kukunya, semua kata yang telah ditulis rapi pun sirna, menguap bersama aroma keringat orang Sawang dan seluruh keberanian lenyap tertimbun tumpukan lobak asin. Tirai yang terbuat dari keong-keong kecil itu demikian kukuh untuk ditembus oleh mental laki-laki sekecil aku.

Sudah dua musim berlalu, sudah dua kali orang-orang bersarung turun dari perahu, aku merasa sudah saatnya untuk tahu siapa namanya. Namun sekali lagi, walaupun sudah berhari-hari mengumpulkan keberanian untuk bertanya langsung ketika tangannya menjuilur, aku menjadi bisu dan tuli. Aku begitu kerdil di depannya. Maka kutugaskan Syahdan mencari informasi. Ia sangat girang mendapat tugas itu. Lagaknya seperti intel Melayu, mengendap-endap, berjingkat-jingkat penuh rahasia.

“Namanya A Ling ...!” bisiknya ketika kami sedang khatam Al-Qur’an di Masjid Al Hikmah. Jantungku berdetak kencang.
“Seangkatan dengan ktia, di sekolah nasional!” Dan pyarrr!! Kopiah resaman Taikong Razak menghantam rihalan Syahdan.
“Jaga adatmu di muka kitab Allah anak muda!!”

Syahdan meringis dan kembali menekuri Khatamul Qur’an. Sekolah nasional adalah sekolah khusus anak-anak Tionghoa. Aku menatap Syahdan dengan serius. Sekolah nasional ...?

“Jangan sampai tahu ibuku,” kataku cemas, “Bisa-bisa kau kena rajam.”

Syahdan tak mau menanggapi peringatkanku yang tidak kontekstual dengan infonya yang berharga tadi. Wajahnya mengisyaratkan bahwa ia punya kejutan lain.
“A Ling adalah sepupu A Kiong ...!”

Aku terkejut, rasanya seperti tertelan biji rambutan yang macet di tenggorokanku. A Kiong, pria kaleng kerupuk itu! Mana mungkin dia punya sepupu bidadari?
Syahdan membaca pikiranku, ia mengangguk-angguk yakin memastikan, “Iya, betul sekali, Kawan, A Kiong kita itu, tapi aku tak pasti, apakah A Kiong seperti itu karena tumbal ilmu sesat, titisan yang keliru, atau anomali genetika?”

Syahdan vulgar dan sok tahu. Aku segera teringat pada A Kiong. Beberapa hari ini ia belajar di kelas sambil berdiri karena lima biji bisul padi bermunculan di pantatnya sehingga ia tak bisa duduk. Tapi ia berkeras ingin tetap sekolah.

Aku tak dapat menggamabrkan perasaanku atas semua info ini. Kenyataan bahwa A Ling adalah sepupu a Kiong membuatku bersemangat sekaligus waswas. Aku dan Syahdan berunding serius membahas perkembangan ini dan kami putuskan untuk menceritakan situasinya pada A Kiong. Kami menganggap dialah satu-satunya peluang untuk menembus tirai keong itu.

Kami giring A Kiong menuju kebun bunga sekolah dan kami dudukkan di abngku kecil dekat kelompok perdu kamar Beloperone, Pittosporum, dan kembang sepatu yang saat itu sedang bersemi, tempat yang sempurna untuk bermusyawarah soal cinta.

“Mudahnya begini saja, Kiong,” kataku tak sabar. “Aku akan menitipkan padamu surat dan puisi untuk A Ling, maukah kau memberikan padanya? Serahkan padanya kalau kalian sembahyang di kelenteng, pahamkah engkau?”

Ia mengernyitkan dahinya, rambut landaknya berdiri tegak, wajahnya yang bulat gemuk tampak semakin jenaka. Ketika ia melepaskan kembali kernyitannya itu pipinya yang tembem jatuh berayun-ayun lucu. Dia adalah pria berwajah mengerikan tapi lucu.

“Mengapa tak kauberikan langsung padahal setiap Senin pagi kau bertemu dengannya? Tidak masuk akal!” A Kiong tak mengucapkan kata-kata itu tapi inilah arti kernyitannya itu. Aku juga menjawabnya dari dalam hati, semacam telepati. “Hei, anak Hokian, sejak kapan cinta masuk akal?”
Aku menarik napas panjang, membalikkan badanku, memandang jauh ke lapangan hijau pekarangan sekolah kami. Seperti sedang berakting dalam sebuah teater aku merenggut daun-daun Dracaena, meremas-remasnya lalu melemparkannya ke udara.

“Aku malu, A Kiong, nyaliku lumpuh kalau berada satu meter darinya, aku adalah seorang pria yang kompulsif, jika ceroboh aku takut ketahuan bapaknya, kalau itu terjadi, tak terbayangkan akibatnya!”

Kudapat kata-kata itu dari majalah Aktuil langganan abangku, barangkali agak kurang tepat, tapi apa peduliku. Demi mendengar kata-kata seperti naskah sandiwara radio itu Syahdan memeluk erat-erat pohon petai cina di sampingnya. Aku kehabisan kata untuk menjelaskan pada A Kiong bahwa titip-menitip dalam dunia percintaan mengandung nilai romansa yang tinggi karena ada unsur-unsur kejutan di sana.

Rupanya A Kiong menangkap keputusasaan dalam nada suaraku. Ia adalah siswa yang tidak terlalu pintar tapi ia setia kawan. Sepanjang masih bisa diusahakan ia tak ‘kan pernah membiarkan sahabatnya patah harapan. Luluh hatinya melihat aktingku. Sekarang ia tersenyum dan aku menyembahnya seperti murid shaolin berpamitan pada suhunya untuk memberantas kejahatan. Namun karena turunan darah wiraswasta leluhurnya, A Kiong tentu menuntut kompensasi yang rasional. Aku tak keberatan menggarap PR tata buku hitung dagangnya.

Lalu, tak terbendung, melalui A Kiong, puisi-puisi cintaku mengalir deras menyerbu pasar ikan. Baginya itu hanyalah tugas mduha. Sebaliknya, ia mulai merasakan kenikmatan eskalasi gengsi akibat nilai-nilai tata buku hitung dagang yang membaik. Hubungan A Kiong, aku dan Syahdan adalah simbiosis mutualisme, seperti burung cako dengan kerbau. Ia sama sekali tak menyadari bahwa persoalan titip menitip ini dapat membawa risiko ia pecah kongsi dengan pamannya A Miauw.

Aku selalu mendesak A Kiong untuk menceritakan bagaimana wajah A Ling ketika menerima puisi dariku.
“Seperti bebek ketemu kolam,” kata A Kiong penuh godaan persahabatan.

Dan pada suatu sore yang indah, di bulan Juli yang juga indah, di tempat duduk bulat, sendirian di kebun bunga kami, aku menulis puisi ini untuk A Ling:

Bunga Krisan

A Ling, lihatlah ke langit

Jauh tinggi di angkasa

Awan-awan putih yang berarak itu

Aku mengirim bunga-bunga krisan untukmu


Ketika kumasukkan puisi ke dalam sampul surat, aku tersenyum, tak percaya aku bisa menulis puisi seperti itu. Cinta barangkali dapat memunculkan sesuatu, kemampuan atau sifat-sifat rahasia, yang tak kita sadari sedang bersembunyi di dalam tubuh kita. Namun ketika itu aku selalu merasa heran mengapa A Ling selalu mengembalikan puisiku? Barangkali di tokonya yang sesak tak ada lagi tempat untuk menyimpan kertas. Demikianlah pikiranku, bukankah anak kecil selalu berpikir positif. Aku tak ambil pusing soal itu lagi pula saat ini pikiranku sedang tak keruan karena pada kotak kapur yang kuambil pagi ini ada tulisan:

Jumpai aku di acara sembahyang rebut

Tulisan tangan A Ling! Ini adalah lompatan raksasa dalam hubungan kami. Bagiku catatan kecil ini sangat penting seperti katebelece presiden untuk menaikkan gaji seluruh pegawai negeri. Keinginanku melihat kembali wajah Michele Yeoh-ku setelah insiden tirai dulu adlaah tabungan rindu dalam celengan tanah liat yang setiap saat hampir meledak. Dan dalam waktu 92 jam, 15 menit, 10 detik dari sekarang aku akan menjumpainya langsung! Di halaman kelenteng.

Hari-hari menjelang pertyemuan adalah hari-hari tak bisa tidur. Klasik sekali memang, tapi apa boleh buiat karena memang itu kenyataannya maka harus kuceritakan. Berkali-kali kubaca pesan di atas kotak kapur itu tapi masih tetap isinya tentang janji ketemu. Dibaca dari arah mana pun, dari belakang seperti membaca huruf Arab, dari depan, dari atas, dari jauh, dari dekat, dipantulkan di cermin, digerus dengan lilin, dibaca dengan kaca pembesar, dibaca di balik api, ditaburi tepung terigu, diawasi lama-lama seperti melihat gamabr tiga dimensi yang tersamar, isinya tetap sama yaitu “jumpai aku di acara sembahyang rebut”. Itu adalah kalimat bahasa Indonesia yang jelas, bukan idiom, bukan isyarat atau simbol. Aku seolah tak percaya dengan pesan itu tapi aku, si Ikal ini, akan segera berjumpa dengan cinta pertamanya! Tak diragukan lagi, dunia boleh iri.

Kotak kapur yang ada tulisan pesan A Ling itu kusimpan di kamarku seperti benda koleksi yang bernilai tinggi. Syahdan dan A Kiong sampai bosan terus-menerus mendengar kisahku tentang pesan itu. Mereka muak. Satu pelajaran berharga, orang yang sedang jatuh cinta adalah orang yang egois. Aku seolah tak percaya pada apa yang akan terjadi, mimpikah ini?

“Bukan, Kawan, bukan mimpi, mandilah bersih-bersih dan tunggu dia pukul emapt sore di halaman kelenteng, saat persiapan sembahyang rebut. Dia wanita yang baik, dia akan datang untuk janjinya,” nasihat A Kiong, event organizer pertemuan penting ini, yang tiba-tiba menjadi amat bijaksana.
Chiong Si Ku atau sembahyang rebut diadakan setiap tahun. Sebuah acara semarak di mana seluruh warga Tionghoa berkumpul. Tak jarang anak-anaknya yang merantau pulang kampung untuk acara ini. Banyak hiburan lain ditempelkan pada ritual keagamaan ini, misalnya panjat pinang, komidi putar, dan orkes Melayu, sehingga menarik minat setiap orang untuk berkunjung. Dengan demikian ajang ini dapat disebut sebagai media tempat empat komponen utama kelompok subetnik di kampung kami: orang Tionghoa, orang Melayu, orang pulau bersarung, dan orang Sawang berkumpul.

Orang Sawang tak terlalu tertarik dengan hiburan-hiburan tadi tapi mata mereka tak lepas dari tiga buah meja berukuran besar dengan panjang kira-kira 12 meter, lebar dan tingginya kira-kira 2 meter. Di atas meja itu ditimbun berlimpah ruah barang-barang keperluan rumah tangga, mainan, dan berjenis-jenis makanan. Barang-barang ini adalah

sumbangan dari setiap warga Tionghoa. Tak kurang dari 150 jenis barang mulai dari wajan, radio transistor, bahkan televisi, berbagai jenis kue, biskuit, gula, kopi, beras, rokok, bahan tekstil, berbagai botol dan kaleng minuman ringan, gayung, pasta gigi, sirop, ban sepeda, tikar, tas, sabun, payung, jaket, ubi jalar, baju, ember, celana, buah mangga, kursi plastik, batu baterai, sampai beragam produk kecantikan disusun bertumpuk-tumpuk laksana gunung di atas meja-meja besar tadi. Daya tarik terkuat dari sembahyang rebut adalah sebuah benda kecil yang disebut fung pu, yakni secarik kain merah yang disembunyikan di sela-sela barang-barang tadi. Benda ini merupakan incaran setiap orang karena ia perlambang hoki dan yang mendapatkannya dapat menjualnya kembali pada warga Tionghoa dengan harga jutaan rupiah.
Meja itu diletakkan di depan sebuah Thai Tse Ya, yaitu patung raja hantu yang dibuat dari bambu dan kertas-kertas berwarna-warni. Tinggi Thai Tse Ya mencapai 5 meter dengan diameter perut 2 meter. Ia adalah sesosok hantu raksasa yang menyeramkan. Matanya sebesar semangka dan lidahnya panjang menjuntai seperti ingin menjilati jejeran babi berminyak-minyak yang dipanggang berayun di bawahnya. Thai Tse Ya tak lain adalah representasi sifat-sifat buruk dan kesialan manusia. Sepanjang sore dan malam hari, warga Tionghoa yang Kong Hu Cu tentu saja melakukan sembahyang di depan Thai Tse Ya ini.
Tepat tengah malam salah seorang paderi akan memukul sebuah tempayan besar pertanda seluruh hadirin dapat mengambil—lebih tepatnya merebut—semua barang yang ada di tiga meja besar tadi. Oleh karena itu Chiong Si Ku disebut juga acara sembahyang rebut.
Ketika tempayan itu dipukul bertalu-talu tanda mulai berebut aku menyaksikan salah satu peristiwa paling dahsyat yang pernah dilakukan manusia. Gunungan beratus-ratus jenis barang tersebut lenyap dalam waktu tak lebih dari satu menit—25 detik lebih tepatnya, dan tempat itu berubah menjadi kekacaubalauan yang tak tertuliskan kata-kata. Debu tebal mengepul ketika ratusan orang dengan garang menyerbu meja-meja tinggi itu dengan semangat seperti orang kesetanan. Tak jarang meja-meja itu hancur berantakan dan para perebut cidera berat.

Mereka yang berhasil naik ke atas meja dengan gerakan secepat kilat melemparkan barang-barang secara sistematis kepada rekan-rekannya yang menunggu di bawah. Mereka yang bertindak sendiri naik ke atas meja dan memasukkan apa saja yang ada di dekatnya ke dalam sebuah karung—juga dengan kecepatan kilat—sampai kadang kala tak bisa menurunkan karungnya itu karena sudah di luar batas tenaganya.

Kadang kala belasan orang berebut sebuah barang sehingga terjadi semacam perkelahian di tengah tumpukan barang dan beberapa di antaranya terjengkang, jatuh menabrak barang-barang rebutan, lalu terjembab ke tanah. Para penonton tak sempat bertepuk tangan tapi hanya terpana menyaksikan pemandangan sekilas yang mahadahsyat sekaligus ngeri membayangkan bagaimana manusia bisa begitu serakah dan beringas.

Mereka yang tidak membawa karung memasukkan apa saja ke dalam seluruh saku baju dan celana bahkan ke dalma bajunya sehingga tampak seperti badut. Dalam situasi berebutan yang sangat cepat otak sudah tidak bisa menalar, kadang kala butir-butir beras dan gula juga dimasukkan ke dalam saku celana. Mereka yang saku baju dan celananya—bahkan bagian dalam bajunya—telah penuh memasukkan apa saja ke dalma mulutnya, mereka makan apa saja, sebanyak mungkin, ketika masih berada di atas meja, jika perlu mereka akan menyimpan barang di dalam lubang-lubang hidung dan telinga, luar biasa!
Jika berhasil merebut radio transistor jangan harap akan membawanya pulang dengan utuh karena ketika masih di atas meja radio itu akan direbut oleh lima belas orang sekaligus sehingga yang tersisa hanya tombol-tombol atau antenanya saja. Prinsipnya tak mengapa mendapatkan tombolnya saja asalkan orang lain juga tak mendapatkan radio seutuhnya. Perkara radio itu menjadi hancur tak bisa dipakai adalah urusan lain yang tak penting. Inilah manifestasi dasar keserakahan manusia. Chiong Si Ku adalah bukti nyata tak terbantah terhadap teori yang dipercaya para antropolog tentang kecenderungan egois, tamak, merusak, dan agresif sebagai sifat-sifat dasar homo sapiens.
Superstar dalam Chiong Si Ku tentu saja orang-orang Sawang. Tanpa mereka bisa-bisa acara ini kehlilangan sensasinya. Mereka sukses setiap tahun karena pengorganisasian yang solid. Sejak sore mereka telah melakukan riset di mana posisi barang-barang berharga, dari sudut mana harus menyerbu, berapa tenaga yang diperlukan, dan mengkalkulasi perkiraan perolehan. Berhari-hari sebelum sembahyang rebut mereka telah menyusun strategi. Pembagian tugasnya jelas, yaitu mereka yang berbadan besar bertugas menjegal kelompok perebut lain, yang kecil menyerbu naik ke atas meja seperti gerakan monyet: cepat, jeli, dan tangkas, dan sisanya menunggu di bawah, siaga menangkap apa saja yang dilemparkan dari atas meja. Kelompok ini beranggotakan sampai dua puluh orang. Seorang pria Sawang kurus bermata liar ditugaskan khusus selama bertahun-tahun untuk menjarah fung pu. Ketika ia beraksi ekspresinya datar seolah ia tak punya urusan dengan perebut-perebut serakah lainnya. Tingkah lakunya persis budak yang dijanjikan merdeka oleh Siti Hindun jika berhasil membunuh Hamzah sang panglima pada perang Uhud. Sang budak tak ada urusan dengan perang Uhud, perang itu bukan perangnya, setelah menombak dada Hamzah ia bergegas pulang. Demikian pula pria bermata liar ini. Ketika paderi memukul tempayan pertama kali ia langsung memanjat meja seperti manusia laba-laba, lalu dengan cekatan ia berjingkat-jingkat di antara lautan barang-barang. Matanya yang tajam nanar jelalatan melacak ke sana kemari dan dalam waktu singkat ia mampu menemukan fung pu. Ia selalu sukses meskipun paderi telah menyembunyikan benda kecil keramat itu dengan amat rapi di antara tumpukan terdalam lipatan daster, di dalam salah satu dari puluhan kaleng biskuit Khong Guan yang paling sulit dijangkau, di dalam karung ekmiri, di sela-sela dedaunan tebu, bahkan di dalam buah jeruk kelapa. Setelah mendapatkan fung pu ia menyelipkan carikan merah itu di pinggangnya dan melompat turun seperti pemilik ilmu peringan tubuh. Ia tak sedikit pun peduli dengan barang-barang berharga lainnya serta kecamuk ratusan pria kasar yang berebut dengan brutal. Sang legenda hidup Chiong Si Ku itu mendarat ke bumi tanpa menimbulkan suara lalu sedetik kemudian ia menghilang di tengah kerumunan massa membawa lari lambang supremasi Chiong Si Ku. Ia lenyap di telan gelap, asap gaharu, dan aroma dupa.

Orang-orang Melayu, sebagaimana baisa, susah berorganisasi. Bukannya fokus pada ikhtar untuk mencapai tujuan dan memenangkan persaingan tapi sebaliknya mereka gemar sekali berpolitik sesama mereka sendiri. Tak terima jika dikoreksi dan jarang ada yang mau berintrospeksi. Di antara mereka selalu saja berbeda pendapat dan mereka senang bukan main dengan pertengkaran yang tak konstruktif. Tak mengapa tujuan tak tercapai asal tak jatuh nama dalam debat kusir. Dan selalu terjadi suatu gejala yang paling umum yaitu: yang paling bodoh dan paling tak berpendidikan adalah paling lantang dan paling pintar kalau bicara. Jika orang Melayu membentuk sebuah tim maka setiap orang ingin menjadi pemimpin. Akhirnya tim yang solid tak pernah terbentuk. Akibatnya dalam sembahyang rebut mereka beroperasi secara individu dan berjuang secara soliter maka yang berhasil dibawa pulang hanya tubuh yang remuk redam, sebatang tebu, beberapa bungkus sagon, sebelah kaos kaki Mundo, beberapa butir kepala boneka, bibit kelapa yang tak dipedulikan orang Sawang, dan pompa air—itu pun hanya sumbatnya saja.
Chiong Si Ku diakhiri dengan membakar Thai Tse Ya dengan harapan tak ada sifat-sifat buruk dan kesialan melanda sepanjang tahun ini. Sebuah acara keagamaan tua yang syarat makna, berseni, dan sangat memesona.

Pukul 3.30 selesai shalat Ashar.


Pesan di kotak kapur! Seperti message in a botle. Aku berdiri tegak di bawah pohon seri di halaman kelenteng sambil memegangi sepedaku, menunggu. Anak-anak muda Tionghoa hilir mudik. Mereka sibuk mendirikan Thai Tse Ya setinggi lima meter. Ada A Kiong diantara mereka, ia berulang kali mengacungkan jempolnya menyemangatiku.

“Tabahlah, Kawan, ambil semua risiko, begitulah hidup,” demikian barangkali maksudnya.
Aku membalas dengan senyum kecut karena aku gelisah. Aku gelisah membayangkan apa yang ada di pikiran seorang wanita muda Tionghoa tentang laki-laki Melayu kampung seperti aku. Dan berada di tengah lingkungan mereka membuat aku semakin ragu. Apa aku pulang saja? Tapi aku rindu. Dan rinduku telanjur berdarah-darah.
Seperti terjadi setiap hari, pukul 3.30 sore matahari masih terasa sangat panas dan dengan berdiri di sini sebagian tubuhku tersiram cahayanya. Aku dapat merasakan keringatku mengalir pelan di leher baju takwa putih berlengan panjang, baju terbaik yang aku miliki, hadiah hiburan lomba azan. Jantungku berdetak kacau, aku gugup luar biasa. Burung matahari akwanan tujuh ekor yang berkicau-kicau di dahan-dahan rendah seri jelas-jelas menggodaku. Mereka berjingkat-jingkat dan ribut sekali. Kumbang juga menerorku, seperti suara ambulans mereka sibuk melubangi kayu-kayu besar bercat merah mencolok yang menyangga atap kelenteng. Suaranya merisaukanku. Aku tak sabar menunggu.

Pukul 3.55


Sudah 25 menit aku mematung di sini, tak ada tanda-tanda kehadiran A Ling. Wajah A Kiong menaruh belas kasihan padaku. Barangkali tadi aku tiba terlalu awal, harusnya aku datang terlambat saja, atau tak datang sama sekali. Berbagai pikiran aneh mulai merasukiku. Aku merasa lelah karena tegang. Kakiku kesemutan.
Mataku tak lepas-lepas memandang ke arah satu-satunya jalan yang menghubungkan kelenteng dengan pasar ikan. Di sepanjang kiri kanan jalan ini tumbuh berderet-deret pohon saga. Cabang-cabang atasnya bertemu meneduhi jalan di bawahnya sehingga jalan ini tampak seperti gua. Setelah deretan pohon-pohon saga, jalan ini berbelok ke kanan. Pinggir jalan ini dipagari bekas-bekas tulang bangunan yang terlantar.

Tulang-tulang bangunan itu dirambati dengan lebat tak beraturan ke sana kemari oleh Bougainvillea spectabilis liar atau kembang kertas dan berakhir pada ujung sebuah jalan buntu. Di ujung jalan ini berdiri toko Sinar Harapan, rumah A Ling. Maka berdiri dua puluh meter persis di depan Thak Si Ya adalah posisi yang telah kuperhitungkan dengan matang. Jika ia muncul di belokan itu, maka dari posisi ini aku dapat melihatnya langsung berjalan anggun seperti burung sekretaris menuju ke arahku. Pasti ia akan menunduk tersenyum-senyum, atau, seperti film India, ia akan berlari kecil membawa seikat bunga, lalu merentangkan tangannya untuk memelukku. Ah, aku bermimpi.
Tapi ia tak muncul-muncul dan aku berulang kali mengusap mataku yang kelelahan memelototi belokan itu. Kakiku penat dan aku mulai merasa pusing karena ketegangan berkepanjangan. Sekarang Thak Si Ya telah berdiri, para pemuda Tionghoa bertepuk tangan, sementara aku semakin gelisah. Aku melirik Thak Si Ya yang berdiri tinggi tegak, matanya seram sekali mengawasi gerak gerikku.


Sekarang sudah pukul 3.57, tiga menit menjelang tenggat waktu.


Aku menghitung dengan jariku, jika sampai hitungan keenam puluh ia tak muncul maka aku akan pergi saja. Aku kepanasan dan merasa mual. Karena tegang, perutku naik membaut ngilu ulu hatiku. Kalau tadi pikiran yang bukan-bukan merasukiku, kini pikiranku dilanda keraguan.

Apakah ia benar-benar seperti persepsiku selama ini? Apakah yang kuabyangkan tentang dirinya akan sama sekali berbeda kenyataannya? Mungkinkah sekarang ia sedang menyiangi tauge, lupa akan janjinya? Tahukah ia betapa berarti pesannya itu untukku? Dan sekarang ia tak datang, betapa hancur hatiku. Ingin segera kukayuh sepeda ini, lari sekencang-kencangnya menceburkan diri ke Sungai Lenggang.


Pukul 4.02, lewat sudah batas janji.


Tik! Tok! Tik! Tok! Tik! Tok!


Sudah 60! Hitunganku sampai. Ia ingkar!


Aku berada di puncak kegelisahan. Tanganku dingin, jantungku berdetak makin cepat. Suara kumbang-kumbang semakin riuh merubung aku, menerorku tanpa ampun. Ngiung! Ngiung! Ngiung ...

Dadaku sesak karena rindu dan marah, aku naiki sadel sepeda, sudah tak tahan ingin berlalu dari neraka ini. Namun ketika aku akan mengayuh sepeda, aku mendengar persis di belakangku suara itu. Suara yang lembut seperti tofu. Suara yang membuat kumbang-kumbang terdiam bungkam. Inilah suara yang sejuk seperti angin selatan, suara terindah yang pernah kudengar seumur hidupku, laksana denting harpa dari surga.

“Siapa namamu?”

Aku berbalik cepat dan terkejut.

Aku tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Karena di situ, persis di situ, tiga meter di depanku, berdirilah ia, the distinguished Miss A Ling herself! Michele Yeoh-ku. Ia datang dari arah yang sama sekali tak kuduga karena sebenarnya dari tadi ia sudah berada di dalam kelenteng memerhatikanku, dan pada detik-detik terakhir aku akan kecewa, ia hadir, memberiku kejutan listrik voltase tinggi, menghancurkan setiap butiran-butiran darah merah di tubuhku. Setelah lima tahun mengenalnya, baru tujuh bulan yang lalu pertama melihat wajahnya, setelah puluhan puisi yang kutulis untuknya, setelah berton-ton rindu untuknya, baru sore ini dia akan tahu namaku.
Aku tergagap-gagap seeprti orang Melayu belajar mengaji.

Ia mengulum senyum, manis sekali tak terperikan. Hadir dalam balutan chong kiun, baju acara penting yang memesona, di suatu bulan Juli yang meriah, ia turun ke bumi bagai venus dari Laut Cina Selatan. Baju itu mengikuti lekuk tubuhnya dari atas mata kaki sampai ke leher dan dikunci dengan kancing tinggi berbentuk seperti paku. Tubuhnya yang ramping bertumpu di atas sepasang sandal kayu berwarna biru. Cantik rupawan melebihi mayoret mana pun. Tingginya tak kurang dari 175 cm, jelas lebih tinggi dariku.

Serasi dengan rumpun genayun yang tumbuh kurus menjulang di sampingnya ia mengikat rambutnya menjadi satu ikatan besar dan ikatan itu ditegakkan tinggi-tinggi. Beberapa helai rambut yang disatukan jatuh di atas pundak chong kiun berwarna lam set, biru muda, dengan motif bunga ros besar-besar. Beberapa helai rambut lainnya dibiarkan jatuh melintasi wajahnya yang teduh jelita. Kuku-kukunya yang cantik memegang hio utnuk sembahyang.
Ada sedikit kilasan kedewasaan pada pancaran matanya dibanding terakhir kami bertemu. Teori yang memaksakan pendapat bahwa wanita bermata besar kelihatan lebih cantik akan runtuh berantakan jika melihat A Ling. Matanya yang sipit sedikti tertarik ke atas, senada dengan bentuk alis yang dibiarkan alami. Dalam lukisan wajah yang tirus bentuk mata seperti itu menciptakan rasa kecantikan dengan karakter yang kaut. Inilah pusat gravitasi pesona wajah A Ling.
Sejujurnya aku tak sanggup mengatasi keanggunan pada level seperti ini. Ini bukan untukku. Aku merasa tak pantas. Bagiku ia seperti seseorang yang akan selalu menjadi milik orang lain. Dan aku, tak lebih dari pengisi data nama dan alamat pada buku simfoninya yang akan terlupakan sebulan setelah ini. Aku tak mungkin berada di dalam liga ini. Aku rasanya ingin pulang saja. Ia membaca itu. Lalu memegang mata kiang lian, seuntai kalung yang menggantung panjang di lehernya. Mata kalung itu batu giok dan bertulisan Tionghoa. Aku tak paham makna tulisan itu.

“Miang sui,” kata A Ling. Nasib, itulah artinya.

Dan lilin besar merah pun dinyalakan, cahayanya berkibar-kibar, ratusan jumlahnya. Mata Thai Tse Ya berkilat-kilat karena lilin menyinari wajahnya dari bawah. Ia tampak makin seram tapi aura A Ling membuatnya tak lebih dari boneka kertas yang jenaka dan kumbang-kumbang yang nakal tadi tak berani muncul lagi.

A Ling menarik tanganku, kami berlari meninggalkan halaman kelenteng, terus berlari melintasi kebun kosong tak terurus, menyibak-nyibakkan rumput apit-apit setinggi dada, tertawa kecil menuju lapangan rumput halaman sekolah nasional. Kami merebahkan diri kelelahan, memandangi awan senja berarakan.
“Aku membaca puisimu, Bunga Krisan, di depan kelas!” katanya serius. “Puisi yang indah ....”
Aku melambung.

Wajah A Ling yang cantik berair karena keringat, seperti embun di permukaan kaca. Ia bangkit, lalu berjalan hilir mudik di depanku yang memandanginya seperti bayi melihat kelereng. Lalu dengan gaya seperti dosen ia menggenggam jemarinya, bercerita penuh semangat tentang minatnya pada sketsa dan cita-citanya menjadi perancang busana. Sebaliknya, aku menceritakan minatku pada seni. Di dekatnya aku merasa berarti, merasa menjadi seseorang, di dekatnya aku merasa ingin menjadi seorang pria yang lebih baik. Di dekatnya aku merasa seperti sedang berada dalam sebuah adegan dalam film.
Dari lapangan itu kami kemudian berlari-lari menuju komidip utar. Bukankah komidi putar adalah sebuah benda yang menakjubkan? Setelah seorang pria kumal mengangkat sebuah tuas lalu benda itu secara mekanik memutar insan-insan yang dimabuk cinta yang duduk berimpitan di dalam sebuah tempat seperti mentudung. Lalu tiba-tiuba semuanya menjadi mudah karena semua hal disaksikan dari suatu jarak. Bagiku mentudung-mentudung itu seumpama pelaminan di mana orang berusaha menikmati keindahan cinta dalam kesederhanaan sensasi yang ditawarkan sebuah komidi putar. Keindahan yang sederhana ini membuatku belajar menghargai cinta yang sekarang duduk di sampingku. Inilah sore terindah dalam hidupku. Aku bertanya-tanya pada diri sendiri: ke manakah nasib akan membawaku setelah ini? Dari putaran tertinggi komidi aku dapat melihat lapangan tempat tadi kami memandangi awan.


Next Novel Laskar Pelangi Bagian 21 (Rindu)
Laskar Pelangi Adalah Novel Karya Andrea Hirata
Tanpa Bermaksud Merugikan Sang Penulis,Cuma Sekedar Sharing Saja. Jangan Lupa Silahkan Beli Novel Karya - Karya Beliau.

Share This :

Artikel terkait : Novel Laskar Pelangi Bagian 20 (Miang Sui)

Posting Lebih Baru Posting Lama

0 komentar: